Keutamaan Ibadah Haji di Mata Allah
Ibadah Haji merupakan amalan yang bernilai istimewa di mata Allah. Haji adalah amalan yang paling afdhol dan dicintai Allah. Pernyataan ini diriwayatkan dalam HR Bukhari No. 1519.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada sahabat yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sebagai bagian dari lima rukun Islam maka beribadah haji merupakan impian bagi setiap muslim di belahan bumi manapun. Ketika berhaji muslimin mendampakan menjadi haji mabrur. Ulama Abu Bakar Jabir Al Jazaari di dalam kitab Minhajul Muslimin menjelaskan bahwa haji mabrur salah satunya dapat diraih dengan jalan harus bersih dari segala dosa serta banyak melakukan amal shalih dan kebajikan selama beribadah haji. Ibadah haji pada dasarnya telah diperintahkan sebelum masa Rasulullah. Salah satu rukun haji, yaitu thawaf dilakukan oleh malaikat sebelum Nabi Adam diturunkan. Puing-puing Kabah pun didirikan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Nabi Muhammad bertugas memberikan contoh ritual haji yang lengkap untuk diikuti oleh umat muslim dari zaman ke zaman. Artinya beribadah haji tidak dilakukan umat muslim modern saja namun dari zaman sebelum ada pesawat terbang pun wajib ditunaikan oleh mereka yang mampu. Kisah-Kisah Berhaji di Zaman Dulu Zaman sekarang berangkat haji relatif lebih mudah meski membutuhkan biaya yang tidak murah. Puluhan tahun lalu saat moda transportasi masih terbatas melalui darat dan laut perjalanan berhaji membutuhkan waktu berbulan-bulan. Tidak ada pesawat dengan kursi empuk, tidak ada akomodasi atau pemondokan haji yang nyaman di sekitar Kabah dan tidak terdapat manasik haji untuk pembekalan dan pembinaan agar jamaah bisa berangkat dengan bekal ilmu lebih baik. Agar bisa sampai Mekah umat muslim Indonesia harus rela berada di tengah lautan menghadang badai, terombang-ambing ombak dan terkadang harus melawan serangan bajak laut. Perjalanan yang menjadikan nyawa sebagai taruhannya. Namun demi Allah semua rintangan diterjang. Lihat juga: paket haji plus (solusi berangkat haji lebih cepat). Indonesia, salah satu negara yang mendapatkan kesempatan menerima dakwah Islam belakangan ternyata tercatat dalam sejarah sudah mengirimkan jamaah hajinya sejak abad ke-15. Sejarawan M Shaleh Putuhena dalam buku Historiografi Haji Indonesia menemukan catatan sejarah bahwa pada tahun 1503 Masehi pernah terjadi peristiwa kapal laut pribumi berlayar mengarungi samudera dan berlabuh di jazirah Arab demi mengantarkan jamaah haji untuk menunaikan rukun Islam kelima. Artinya sebelum rombongan pedagang Portugis mendarat di nusantara ritual haji telah ditunaikan sebagian muslim nusantara. Dalam buku tersebut M. Shaleh Putuhena menyatakan bahwa mereka yang berangkat ke Mekkah adalah para pedagang dan pelaut yang berlabuh di Jeddah, berdagang sekaligus beribadah haji. Menurut catatan dan bukti-bukti sejarah ibadah haji dari Indonesia ke tercatat dilaukan hingga tahun-tahun berikutnya. Kedatangan armada Portugis yang semula berdagang dan berkembang menjadi penjajahan terbukti tidak mengurangi niat beribadah haji. Jumlah jamaah haji yang berlayat dari nusantara ke Mekkah semakin meningkat setiap tahun sejak kedatangan Portugis di tahun 1512. Sementara itu sebagai perbandingan, sejarawan lain yaitu dadan Wildan Anas menulis catatan tentang ibadah haji yang dilakukan umat muslim nusantara terbukti telah dilakukan sejak abad ke-13. Kesimpulan ini ditarik berasarkan naskah Carita Parahiyangan. Menurut kitab kuno tersebut putra kedua penguasa Kerajaan Galuh, Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata yang bernama Bratalegawa adalah seorang saudagar dan sering berlayar jauh ke negeri seberang. Bratalegawa pernah berlayar hingga ke negeri Cina, India, Iran, Srilanka hingga ke jazirah Arab. Bangsawan ini kemudian menikah dengan seorang muslimah asli Gujarat bernama Farhana binti Muhammad dan menjadi seorang muallaf. Diketahui kemudian bahwa Bratalegawa menunaikan ibadah haji dan mendapat sebutan Haji Purwa dan dikenal sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di Kerajaan Galuh. Kontinuitas perjalanan haji dari nusantara tercatat rapi dengan fakta di masa pemerintahan Kesultanan Banten. Sultan Agen Tirtayasa, pemimpin Banten mengirimkan putranya Sultan Abdul Kahar untuk bertemu Sultan Makkah pada Tahun 1671. Kunjungan tersebut tidak hanya kunjungan kenegaraan namun Sultan Abdul Kahar juga berkesempatan menunaikan ibadah haji kemudian melanjutkan perjalanan ke Turki. Sultan Abdul Kahar kemudian mendapatkan gelar Sultan Haji. Sejarah juga mencatat kapal-kapal niaga nusantara secara kontinyu melakukan pelayaran hingga ke Mekkah. Perjalanan tersebut juga menjadi sarana untuk ibadah haji. Buku “Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantang dan ke Jeddah” yang ditulis Kasim Ahmad mencatat bahwa kesultanan-kesultanan nusantara telah memiliki armada perdagangan internasional. Kesultanan di Jawa terutama Jepara memiliki industri khusus yang mampu membuat kapal-kapal besar untuk keperluan niaga dan mengangkut jamaah haji. Menurut bukti-bukti otentik sejarah kapal-kapal niaga yang berlayar ke Mekkah tidak langsung menuju Mekkah untuk mengantarkan jamaah beribadah haji. Namun kapal-kapal tersebut singgah di beberapa pelabuhan nusantara, berlayar menembus Samudra Hindia dan tiba di Aceh. Dari Aceh ini biasanya para saudagar menanti kapal lain yang menuju India. Di India rombongan saudagar dan jamaah haji menanti kapal lain yang bisa mengantarkan ke Hadramaut Yaman. Total perjalanan ini bisa membutuhkan waktu lebih dari setengah tahun, hanya untuk perjalanan berangkat ke Mekkah. Di zaman dahulu menanti kedatangan para jamaah yang telah berhaji tidak bisa dipastikan seperti saat ini. Mereka yang berangkat berhaji juga tidak dapat berkirim kabar kepada sanak saudara yang ditinggal di rumah sebab belum ada fasilitas telepon, Whats App, Telegram Channel atau kantor pos untuk surat menyurat. Melepas jamaah haji di masa lalu harus penuh keikhlasan. Sebab kapan datangnya tidak bisa dipastikan. Tantangan selama perjalanan di tengah lautan pun bisa mendatangkan marabahaya. Samudera yang ganas, perubahan cuaca tiba-tiba, ancaman bajak laut, minimnya perbekalan dan obat, kerusakan kapal bisa menjadi penyebab hilangnya nyawa. Sebagian calon jamaah tersebut bahkan menghadapi rintangan yang menyebabkan mereka tidak pernah sampai ke Mekkah karena menderita sakit di tengah perjalanan yang memakan waktu lama. Rintangan yang dihadapi jamaah haji tak terhenti saat perjalanan. Berdesakan saat melakukan ritual haji dan menyebabkan kematian bisa terjadi setiap saat. Bahkan di era modern pun kejadian semacam ini bisa tiba-tiba saja terjadi tanpa bisa diprediksi seperti musibah terowongan Mina. Keterbatasan tempat bernaung selama menunaikan ibadah haji menjadi tantangan tersendiri. Berbeda dengan kondisi saat ini dimana para jamaah bisa tinggal di hotel-hotel mewah lengkap dengan segala fasilitasnya. Jamaah haji masa lalu benar-benar merasakan dahsyatnya perjuangan demi menyempurnakan rukun Islam. Tidak mengherankan jika saat kembali ke tanah air disambut layaknya pejuang yang baru kembali dari medan perang. Demikian semogan tulisan ini bermanfaat...
0 Comments
Your comment will be posted after it is approved.
Leave a Reply. |
www.travelumrohhajiku.com